Sabtu, 26 Juli 2014

30 kisah teladan: Ali bin Abi Thalib di Medan Perang

Perang Uhud masih berkecamuk dengan hebatnya. Musuh yang dipimpin oleh dua panglima Quraisy yang gagah perkasa, Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abi Jahal, mengamuk bagaikan macan-macan gurun yang haus darah. Nabi telah terluka. Hamzah, pamanya telah dibantai oleh Wahsya, tangan kanan Hindun istri Abu Sufyan. Wahsya bukan hanya membunuh pahlawan itu, bahkan mengorek jantungnya, dan diserahkannya kepada majikannya. Oleh perempuan itu jantung Hamzah dikunyah-kunyah sebagai pelampiasan dendam lamanya.
Mayat-mayat bergelimpangan di segenap penjuru. Tidak satu pun yang utuh. Di pihak para syuhada Muslimin korban-korban perang itu mirip bangkai-bangkai kambing dimangsa binatang-binatang buas. Mengerikan.
Ali terlibat adu senjata dengan seorang panglima musyrik yang tangguh. Ia sungguh seorang jago pedang yang amat lihai, baik di atas kudanya maupun di medan pasir yang terik. 
Sekujur tubuh Ali penuh dengan darah, darahnya sendiri. Pakaian perangnya telah pecah-pecah, perisainya sudah terlempar jauh. Maut mengancam Ali dari kelebatan pedang musuh yang menyambar-nyambar. Betul-betul Ali berada di dalam bahaya kebinasaan yang amat gawat.
Untunglah dalam suatu kesempatan, Ali berhasil menangkis pedang musuh yang mengancam lehernya. Setelah berusaha keras dengan susah payah, akhirnya Ali mendapatkan peluang sedikit untung menggunting kaki musuh.
Tanpa ampun lagi orang kafir itu terjatuh. Pedangnya terlepas, dan segera ditendang jauh oleh Ali. Kemudian sahabt muda yang gesit ini melompat ke atas badan musuhnya, mencabut pisau pendek dari pinggangnya, dan tangannya sudah terangkat tinggi pisau itu untuk dihunjamkan ke jantung panglima hebat yan kini tidak berdaya tersebut.
Tiba-tiba, tatkala dalam beberapa detik lagi pisau Ali yang berkilat-kilat ditimpa matahari itu akan menghabisi nyawanya, tinggal beberapa inci dari dadanya, orang musyrik itu meludahi muka Ali, persis mengenai mata, hidung, dan mulutnya.
Tentu saja Ali sangat jijik dan marah. Baunya bukan main busuk. Hampir saja Ali muntah-muntah. Wajahnya merah padam, dadanya nyaris meledak karena murka.
Namun, yang sangat menherankan, dalam keadaan darahnya bergolak panas karena dhina dan direndahkan, Ali bin Abi Thalib justru melemparkan pisaunya ke samping. Lalu ia segera berdiri menyuruh orang kafir itu pergi.
Betapa bengongnya panglima musyrik yang keras kepala tersebut. Dengan nada tidak percaya ia bertanya, "Mengapa kau lepaskan aku? Mengapa engkau tidak jadi membunuhku? Gila kah engkau, padahal tadi, kalau tidak aku, pasti engkau yang mampus?"
Ali, sambil mengusap debu yang menempel di bajunya, menjawab, "Untuk membunuhmu bisa kuselesaikan lain kali. Tetapi kalau aku membunuhmu sekarang, itu kulakukan bukan karena Allah semata-mata, melainkan karena aku marah akibat kauludahi. Berbeda daripada sebelumnya ketika aku betul-betul bertempur atas dasar keyakinan untuk membela agama yang benar. Aku tidak mau mengotori tanganku dan perjuanganku dengan darah manusia karena alasan hawa nafsu, betapapun besarnya kemarahanku dengan kauhina melalui perbuatanmu meludahi wajahku tadi."

SUMBER:
Arroisi, K.H. Abdurrahman. 30 Kisah Teladan 1. Bandung: Rosda, 1989. Print.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar