Semoga pembacanya bisa mengambil pelajaran dar kisah ini ya :) Alkisah di sebuah kampung yang damai tiba-tiba berdirilah pabrik minuman keras yang megah. Sontak penduduk kampung yang mayoritas muslim terkejut dan marah.
Sekuat tenaga mereka berusaha mengusir pabrik terkutuk
tersebut dari desa mereka. Sayang usaha itu tak kunjung mendatangkan
hasil. Karena pemerintah daerah sudah memberikan izin usaha. Aparat
keamanan juga selalu siap siaga menjaga.
Sementara itu pemilik pabrik bersikukuh mempertahankan
usahanya. Ia berdalih bahwa pabriknya memberikan keuntungan pada warga.
Bisnisnya akan memberikan multiplier effect ekonomi yang nyata. Lapangan
pekerjaan terbuka, kos-kosan untuk buruh banyak dibangun, aneka warung
nasi akan berdiri, dan aneka kegiatan perekonomian rakyat yang riil akan
berjalan. Singkat kata, roda ekonomi akan menggelinding kencang, cang,
cang!
Bukan itu saja, pemilik pabrik juga memberikan kesempatan
kepada tokoh-tokoh masyarakat untuk bekerja sama dalam kegiatan sosial.
Malah bila ada yang mau bekerja menjadi staf, perusahaan siap
mengakomodir.
Umat Islam yang menentang pabrik miras itu kebingungan. Di
satu sisi mereka tahu bahwa miras itu haram dan najis, tapi di sisi lain
memberikan harapan hidup sejahtera pada warga kampung yang melarat.
Mereka lalu mendatangi ustadz setempat. Meminta fatwa menyikapi pabrik
miras tersebut.
⬇️⬇️⬇️
⬇️⬇️⬇️
“Hmm, jangan bingung,” kata ustadz yang bergelar doktor
dari Timur Tengah itu. “Tapi kami harus bagaimana?” tanya mereka
setengah putus asa. “Setiap persoalan pasti ada jalan tengahnya,” tutur
sang ustadz sambil mengelus-elus jenggotnya. “Ada kaidah mengatakan ‘apa
yang tidak bisa diambil semuanya, maka jangan ditinggal semuanya’,”
terang sang ustadz. “Maksudnya bagaimana, ustadz?” mereka makin bingung.
“Seorang petani yang baik tidak akan menelantarkan sawahnya hanya
karena belum datang musim hujan. Ia akan bercocok tanam palawija yang
tidak butuh banyak air sambil menunggu hujan datang,” sang ustadz malah
memberi analogi. “Kalian belum bisa mengusir dan merobohkan pabrik miras
itu, kan?” tanya sang ustadz. Mereka mengangguk. “Nah, kalau pabrik itu
belum bisa dirobohkan bukan berarti kita tidak bisa mengambil manfaat
darinya. Bukankah kalian bisa bekerjasama dengan pabrik itu? Kalian juga
bisa melamar pekerjaan untuk mengisi jabatan-jabatan penting di sana?
Mengapa itu tidak dimanfaatkan?” Warga terdiam mendengar penjelasan pria
berjenggot itu. Sebagian bergumam menyetujui pemikirannya.
“Tapi ustadz itu kan pabrik minuman keras. Haram. Biang
kejahatan?” sergah seorang warga. “Jangan berpikir terlalu kaku.
Moderatlah dalam berislam. Cari maslahat dari setiap masalah. Coba,
bukankah lebih baik jabatan staf di pabrik itu dipegang kalian yang
muslim daripada orang kafir, kan? Kalau orang kafir yang memegang
jabatan itu nanti malah makin berbahaya. Ia bisa gunakan miras itu untuk
merusak anak-anak muslim lebih luas lagi. Tapi kalau ada di antara
kalian yang menjadi manajernya, maka kalian bisa mengurangi bahayanya.
Pilih bahaya yang paling ringan dari masalah ini,” jawab sang ustadz
taktis strategis.
Sebagian warga mengangguk-angguk setuju. Sebagian lagi
kebingungan, sebagian lagi kecewa dan beringsut-ingsut meninggalkan
pertemuan tersebut.
Mulai hari itu sebagian warga mulai bersikap kooperatif
dengan pemilik pabrik minuman beralkohol. Beberapa warga malah diberi
amanah jabatan strategis di pabrik itu. Daripada dikuasai orang kafir,
bukankah lebih baik dipegang orang Islam? Demikian pikir mereka.
Suasana Islami mulai terasa di pabrik miras itu. Mesjid
mulai dibangun di dalam lingkungan pabrik untuk sarana shalat lima waktu
dan shalat Jumat. Seminggu sekali digelar pengajian untuk para
karyawan. Selain itu dana corporate social responsibility (CSR)
digunakan untuk menyantuni anak yatim, fakir miskin dan juga untuk
perkembangan dakwah Islam di kampung itu. Setahun sekali sebagian
keuntungan pabrik itu juga digunakan untuk meng-umroh-kan sejumlah
pengurus DKM dan aktifis dakwahnya. Banyak warga mulai merasa keberadaan
pabrik minuman keras itu memberikan manfaat nyata. Tidak seburuk yang
dikira.
Tapi tidak semua warga setuju dengan cara itu. Mereka yang
berpikir totalitas tetap berdiri menentang keberadaan pabrik. Secara
rutin mereka menyebarkan tulisan dan berunjuk rasa menyuarakan bahaya
minuman keras, haramnya alkohol, dan dosa-dosa yang dipikul umat akibat
peredaran miras. Walau hanya sekelompok kecil yang melakukan itu.
Kelompok yang kecil ini juga dicela oleh saudara-saudara
mereka yang sudah punya jabatan di pabrik itu. Menurut mereka, kelompok
yang menentang pabrik itu tak realistis, tak memahami ajaran Islam yang
rahmatan lil alamin. Mereka juga mengatakan orang-orang yang menentang
pabrik miras itu hanya bermodal ‘omdo’, omongan doang. Tak ada karya
nyata bagi warga. Hanya modal pengeras suara merk Toa.
Mereka bandingkan dengan amal mereka yang nyata. Bisa
menghidupkan ekonomi warga, memberikan warna Islam di dalam pabrik, dan
mencegah orang kafir menguasai manajemen pabrik minuman keras.
Demikianlah, warga kampung itu akhirnya terbelah dua dalam
menyikapi keberadaan pabrik air api itu. Ada yang kooperatif tapi
berkarya nyata, dan ada yang totalitas menentang tapi dituding hanya
modal omongan doang.
Nah, para pembaca budiman, Anda berdiri di sisi yang mana?
Kalau saya sih sudah punya jawaban sendiri. :) Sumber: al-azharpress.con
"Endingnya kebelah jadi 2 gitu kak?"
yap! Ada yg dengan dalil "mengikuti apa kata
"ustadz"" lalu memilih masuk & ikut berpartisipasi di pabrik
tersebut lalu mengambil manfaatnya, ada yg bersikukuh menentang&taat
kepada hukum Allah yg mengharamkan miras, karna Allah akan melaknat
orang2 yg meminum, membuat, menjual, mengantar, menuangkan minuman keras
:)
"Nama nya juga haram ya tetap haram, saya tidak setuju
dengan pendapat ustad, seharusnya ustad ambil tindakan agar masyarakat
tetap memperjuangkan untuk mengusir usaha haram itu. Walau pun
menumpahkan darah itu lah yg dinama kan jihad fisabilillah, membela dan
menjaga kebenaran Allah , 🙏syukron ukhti @angellafransisca barakallah"
yeayyyy!! Betul!!! Dengan dalil pembenaran
dari kebanyakan "ulama" sekalipun, yg salah dan haram tetaplah haram.
Mendigan ikutin apa kata Allah&Rasul aja hehehe
"kalau perkara tersebut jelas haram, apakah menutup pabrik perlu
pertumpahan darah seharusnya tidak. jika memang pemerintah daerah
memberikan ijin, cara menutupnya dengan memboikot dan demo dari warga
sekitar. krn mudhorot yg dihasilkan pabrik tsb lebih besar dr
manfaatnya. dan Jika dibiarkan makan akan terjadi perkara yg kompleks
dan ingat "Jangan engkau campurkan /samakan yg Haq dan yg Batil, krn yg
haq dan batil tdk pernah bersatu dalam satu wadah". afwan jiddan jika
ada khilaf @angellafransisca"
"Aku memilih untuk menentang keberadaan pabrik itu. Uztad zaman sekarang
cuma gelar doang. Macem gelar S1 tp gak ada ilmu. Semuanya udh di
butakan sama duniawi. Saya rasa dengan membaca cerita ini baunya dajal
bukan sudah tercium tp memang sudah datang. Mendirikan masjid menyantuni
anak yatim hanya kamuflase hanya akal akalan yg punya pabrik agar d
terima d kampung tersebut, padahal mereka setiap harinya membuat minuman
najis. Dajal memang benar benar sudah datang, Menghasut mengkelabui
menyesatkan mengadu domba dan menghancurkan iman dan keyakinan org
muslim. Astaghfirullah, semoga kita semua masih dalam lindungan allah
dan di hindarkan oleh fitnah dajal. Aamiin 🙏 @angellafransisca"
repost: @AngellaFransisca (Instagram)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar